The Morning After

79ed646f66c116951ca7106fced6a3e1

(Baca cerita sebelumnya di sini)

Bagaimana jika, sesuatu yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya, justru mengantarkanmu ke suatu tempat yang akan mengubah keseluruhan jalan takdirmu?

Pagi itu, sebelum jam delapan pagi, Tara sudah melangkah mantap ke kantor perusahaan asing yang berada tepat di seberang kantornya. Di lantai 14 yang cukup luas ini, memang ada beberapa kantor yang berbagi lahan. Ada kantor akuntan publik, bank asing, kantor digital advertising tempat Tara bekerja, dan juga perusahaan asing yang bergerak di bidang konstruksi yang kini sedang Tara tuju.

Seumur-umur bekerja di kantor sekarang, Tara belum pernah satu kali pun berkunjung ke kantor yang menjadi ‘tetangga’ depannya ini. Tapi, karena paket miliknya (yang cukup berharga), dengan sadar dan sengaja dititipkan oleh kurir yang mengantar paket milik Tara, maka ia harus mampir ke sana pagi ini.

Ugh. Kalau bukan karena paket itu, rasanya sampai Tara resign pun, ia tidak akan pernah menyambangi perusahaan yang terlihat superior ini. Kurir yang mengantar paket milik Tara terpaksa harus menitipkan paket miliknya di kantor seberang karena kantornya kosong gara-gara outing Jumat kemarin.

Ia menekan bel sebelum akhirnya seseorang membukakan pintu dengan sedikit tergesa.

“Cari siapa, Mb—Ya, Halo. Selamat pagi, Pak.”

Itu Damas.

Tara masih mengingat nada suaranya yang berat dan datar, juga aura dingin yang menguar dari dalam dirinya.

Seperti angin, Damas segera berlalu dari hadapan Tara dan sibuk dengan telepon genggamnya yang tiba-tiba berbunyi. Ia berdiri di depan pintu. Sesekali berjalan tanpa arah dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Berdeham pelan ketika menyetujui sesuatu yang diucapkan oleh lawan bicaranya dan sesekali berpikir keras ketika ia sedang menimbang-nimbang.

“Pagi, Mbak. Ada perlu?”

Salah satu pegawai perusahaan, seorang laki-laki dengan perawakan gagah dan tegap, keluar dari dalam ruangan dengan secangkir kopi di tangan. Wajahnya suntuk, dengan kantuk yang masih menggantung di bawah pelupuk matanya, tapi senyumnya ramah. Rambutnya masih basah dan agak berantakan, seolah dipaksa kering dengan cara diacak-acak. Laki-laki itu meletakan kopinya di meja resepsionis, lalu mempersilakan Tara duduk di salah satu kursi.  “Sudah lama, ya? Maaf. Resepsionis yang biasa jaga belum datang.”

Tara tersenyum sopan. “Oh, nggak. Saya juga baru datang, Mas.”

“Ada jadwal interview?” tanyanya ramah.

“Nggak, kok,” geleng Tara. “Saya—“

“Mau meeting sama Pak Pras, ya? Wah, dia sih datengnya siang, Mbak.”

Tara gelagapan menjelaskan maksud kedatangannya. “Bukan, Mas. Saya mau tanya—“

“Nanya alamat?” tembak lelaki di hadapannya.

“Bukan juga, Mas,” jelas Tara sabar.

“Oh, nomor telepon?”

Ada jeda yang panjang. Tara sangat takjub dan tanpa sadar menahan napas.

Lalu, tak lama kemudian, terdengar suara tawa. Hangat, berat, namun enak didengar.

“Maaf, saya cuma bercanda. Maklum, kalau habis lembur, otak saya suka gesrek,” kekehnya malu sambil menggaruk bagian belakang lehernya; serba salah.

Dan itu menjelaskan wajahnya yang suntuk, kopi panas yang baru diseduhnya, dan juga selera humor, yang, mengutip perkataannya: gesrek.

“Ada apa, Mba?” tanyanya lagi, kali ini sedikit serius.

Tara memperbaiki letak duduknya. “Gini, Mas. Saya Tara, dari kantor advertising seberang. Hari Jumat kemarin kantor saya ada outing. Jadi, di kantor nggak ada orang. Nah, pas hari itu, ada kurir yang nganter paket buat saya. Karena kantor gelap dan dia nggak sempat antar lagi, paketnya dititip ke kantor ini.”

“Sama kurirnya nggak dikasih tau penerimanya siapa?”

Tara menghela napas. Menyadari kebodohannya karena menyetujui penitipan paket tersebut tapi lupa bertanya siapa nama penerimanya. “Itu dia masalahnya, Mas—“ Gadis itu terdiam seolah menyadari sesuatu. “Maaf sebelumnya, saya sedang bicara dengan Mas siapa, ya?” tanya Tara agak kikuk. Lucu banget nggak sih, udah ngeluh dan nanya panjang lebar tapi masih nggak kenal dengan lawan bicaranya?

“Aga. Namanya, Aga.”

Terdengar suara pintu yang menutup di belakang mereka. Damas muncul bersama dengan aura tenangnya seperti biasa. Ia menyimpan ponselnya di saku celana, lalu berjalan menghampiri Aga yang langsung memprotes interupsinya.

“Kan yang ditanya gue, Mas. Kok lo yang jawab?” sahut Aga.

Damas langsung menepuk pundaknya. “Lo dipanggil Pak Pras. Disuruh ke ruangannya. Sekarang.”

Raut wajah Aga langsung berubah. Antara panik yang bercampur dengan sedikit rasa takut dan juga segan. “Waduh, kenapa lagi? Perasaan laporan yang dia minta kemarin udah gue selesain.”

Yang ditanya hanya mengangkat bahu dan mengambil cangkir kopi milik Aga yang belum sempat diminum pemiliknya. Damas menyesapnya pelan.

“Ga?”

Aga yang sudah berjalan beberapa langkah untuk masuk ke dalam ruangan kantor menoleh. “Ya, Mas?”

“Lain kali kalo bikin kopi jangan kebanyakan gulanya. Gue lebih suka yang pahit.”

“Bodo amat, Mas. Bodo amat,” umpat Aga sambil berjalan menjauh. “Emangnya gue OB elo.”

Setelah Aga menghilang dari ruang resepsionis, Damas memfokuskan pandangannya pada Tara yang masih menjadi penonton setia. “Jadi…” ujarnya pelan, sengaja menggantungkan kata di udara. “Mbak Tara, kan? Yang kemarin di lift?” tanyanya.

Tara tersenyum kikuk. “Benar. Dengan Mas Damas, kan?”

“Ada perlu apa, Mbak?”

Tara meluruskan punggungnya dan memperbaiki letak duduknya. “Oh, ini, Mas. Saya mau nanyain paket saya.”

“Paket apa, ya? Kalau boleh tahu.”

Dan Tara kembali mengulang cerita yang sudah dipaparkannya panjang lebar ke Aga tadi.

“Oh.” Damas mengangguk pelan. “Kita bisa cek di buku tamu, kok. Biasanya kalau ada paket dateng, ada catatan pembukuannya. Dari siapa, untuk siapa, dan siapa yang nerima,” jelasnya. Ia mengambil salah satu buku yang bertumpuk di atas meja, lalu menelusurinya satu per satu.

“Nah, ini. Paket untuk Kinantara Soenaryo? Itu nama lengkap kamu?” tanyanya.

Tara mengangguk.

“Yang nerima si Aga ternyata,” kata Damas, setengah menahan tawa.

“Aga…” Tara mengangkat tangan, menunjuk ke arah Aga menghilang tadi. “Yang tadi itu? Yah, kenapa nggak langsung ngasih ke saya?” tanya Tara agak jengkel.

Tepat ketika itu, Aga muncul dari dalam ruang kantor. “Mas, lo bohong sama gue, ya? Pak Pras kan belum dateng!” semburnya setengah kesal, setengah tertawa karena menyadari kebodohannya. “Gue juga bego lagi. Kan gue sendiri yang tadi bilang kalo Pak Pras selalu dateng siang.”

“Ada apa, Aga? Kamu manggil saya?”

Aga langsung mematung mendengar suara berat nan berwibawa itu. Saking sibuknya berdebat, semua tidak ada yang memperhatikan bahwa pintu depan sudah terbuka dan Pak Pras melangkah masuk dengan gagahnya.

“Oh, eh. Nggak, Pak. Itu tadi Damas yang nanyain bapak.”

“Begitu,” ucap Pak Pras sambil menempelkan jempolnya di fingerprint untuk tanda kehadiran. “Damas?”

Damas yang paham situasi langsung menguasai keadaan. “Draft presentasi yang Bapak minta sudah saya siapkan di meja. Oh, dan tadi, Pak Jendra telepon saya. Meeting-nya reschedule jadi jam 10, Pak.”

Pak Pras mengangguk. “Oke. Nanti kamu ikut saya meeting, ya,” ujarnya sambil melenggang santai dan masuk ke dalam ruangannya. Sebelum membuka pintu, ia menghentikan langkahnya dan memanggil Aga. “Aga, laporan yang saya minta kemarin sudah selesai?”

“Sudah, Pak.”

“Rincian dananya?”

“Sudah juga, Pak.”

“Dan Aga?”

“Ya, Pak?”

“Hari ini saya ada meeting pagi, makanya nggak dateng siang. Tapi, ternyata meeting-nya di reschedule.”

Lalu pintu ruangannya tertutup.

Tara bersumpah kalau ia bisa mendengar desis perlahan dari Aga yang berkata, “Mampus gue. Dia denger.

Hening mengambang di udara.

“Aga, by the way, paketnya.”

Itu suara Damas. Tenang, datar, seolah tak terpengaruh dengan ketegangan yang sedang mendesak di ruangan. Seolah tidak menyadari kalau rekan kerja di sebelahnya siap harakiri karena tertangkap basah sedang membicarakan atasannya.

Aga langsung menyuguhi Damas dengan tatapan membunuh. “Eh, Nyet. Lo tau kalo Pak Pras ada meeting pagi?” bisik Aga kesal. “Kenapa nggak bilang?”

“Lo nggak nanya.”

Aga mengacak-acak rambutnya dengan gusar. “Mampus gue. Mampus gue,” ucapnya berkali-kali.

“Aga?”

“Apa lagi?” tanya Aga galak.

Damas nyengir kecil. “Paketnya.”

“Astaga,” balasnya sambil menepuk jidatnya sendiri. Tatapannya terarah ke arah Tara yang sedari tadi terdiam menatap drama yang tersaji di hadapannya. “Maaf, Mbak Tara. Saya lupa.”

“Nggak apa-apa, Mas. Tadi saya cek di buku, katanya paket saya diterima sama Mas,” jelas Tara.

“Oh, paket untuk Kinantara, ya? Itu nama, Mbak? Iya, saya yang simpan. Ada di loker. Sebentar, saya ambilin.”

Selepas kepergian Aga, Tara menghela napas. Drama pagi yang terlampau cepat ini membuatnya tanpa sadar menahan napas saking seriusnya.

“Ini paketnya,” kata Aga sambil menyerahkan kotak berwarna cokelat yang berbalut plastik. Tara bangkit dari tempat duduknya untuk menerima paket tersebut.

“Makasih,” ujar Tara dengan perasaan lega.

“Itu aja, Mbak?” tanya Aga.

Tara mengangguk. “Iya, ini aja.”

“Nomor teleponnya nggak sekalian?”

Damas langsung memukul kepala Aga perlahan dengan kertas yang digulung. “Nggak sopan.”

“Duh, nggak sopan apa sih, Mas?” tanya Aga cengengesan sambil mengelus kepalanya yang dipukul Damas. “Kan itu maksudnya biar gampang kalo ada apa-apa. Kantor kita tetanggaan, lho.”

“’Kalo ada apa-apa’ itu maksudnya apa?”

Melihat perdebatan yang sepertinya akan pecah sebentar lagi, Tara langsung buru-buru memeluk paketnya dan undur diri. “Saya pamit, ya, Mas Aga, Mas Damas. Terima kasih untuk paketnya.”

Langkah Tara baru mencapai hitungan keempat ketika ada seseorang yang memanggilnya. “Mbak Tara. Sebentar.”

Bukan Aga.

Damas.

“Mbak Tara,” panggil Damas lagi.

Tara menghentikan langkahnya. Dan ia tidak tahu mengapa dadanya berdebar begitu keras. “Ya?”

Damas berjalan ke arahnya dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Dekapan Tara pada paket yang dipeluknya semakin erat. Penuh antisipasi, penuh ekspektasi, sampai dadanya nyaris meledak.

Dan ketika Damas semakin mendekat, Tara refleks memundurkan langkahnya. Hanya satu langkah kecil. Ia takut jika dirinya berdiri terlalu dekat dengan Damas, maka ia akan pingsan saking lemasnya.

“Saya perlu tanda tangan, Mbak,” katanya begitu sampai di depan Tara. Ia mengulurkan buku tamu dan menarik pena dari kantong kemejanya. “Cuma sebagai tanda kalau paketnya sudah diterima, kok. Just in case.

Lalu langit terasa runtuh.

Tara bisa merasakan bahwa balon-balon harapannya mengempis. Ia tersenyum kecil dan mengambil buku tamu tersebut dari tangan Damas. “Ya, just in case,” ulangnya tanpa sadar. Setelah menandatangani buku tamu, ia mengembalikannya kembali ke Damas.

“Terima kasih, Mbak.”

“Kembali.”

Dan Tara melanjutkan perjalanan menuju kantornya, meninggalkan Damas yang masih meneliti tanda tangannya di buku tamu. Sambil berjalan, gadis itu mengembuskan napas berat tanpa sadar.

Bodoh sekali ia karena menyangka ‘akan ada apa-apa’ yang terjadi begitu Damas memanggil namanya. Memangnya, apa lagi yang akan dilakukan Damas? Meminta nomornya seperti yang dilakukan Aga?

Damas bukan laki-laki yang seperti itu. Tara juga tidak tahu, laki-laki seperti apakah Damas ini? Terlalu banyak pertanyaan yang muncul sejak Tara melihatnya di Rumah Makan Pancasila tempo hari. Dan Tara hanya bisa berharap semoga semesta akan mempertemukan mereka kembali dalam sebuah kebetulan-kebetulan tak terduga namun memiliki makna.

***

5 thoughts on “The Morning After

Leave a comment